Mengingat masa-masa dahulu, selalu saja memberikan keindahan
tersendiri. Padahal, banyak dari pengalaman masa itu sebenarnya merupakan
kesulitan atau ketidak nyamanan. Ternyata, kesulitan dimasa lalu dapat menjadi
keindahan untuk dikenang. Salah satu kenangan yang pernah saya alami adalah
menyeberang dengan rakit di Rakik Godang.
Kondisinya sekarang sangat jauh berbeda. Itulah kesan pertama
saya ketika segaja berkunjung kedesa Rakik Godang Kabupaten Kampar Propinsi
Riau. Terletak sekitar 73 km dari Pekanbaru menuju Taluk Kuantan atau 2 km
setelah Lipat Kain.
Tidak terlihat tanda-tanda bahwa suatu masa dulu, tempat ini
cukup ramai. Disisi utara, masih ada beberapa bangunan, termasuk sebuah masjid.
Sedangkan disisi selatannya, hampir tidak berbekas.
Sejak digunakannya jembatan sebagai penghubung dua sisi
sungai Kampar di Rakik Godang , sepertinya pemukiman ini mulai ditinggalkan.
Sedangkan Lipat Kain yang terletak sekitar 2 km dari Rakik Godang, terlihat
semakin ramai dan terus berkembang.
Dulu di era 1970 an, pemukiman ini cukup ramai. Banyak
terdapat rumah makan dikedua sisinya. Waktu itu, Rakik Godang merupakan tempat
penyeberangan terakhir dari Pekanbaru menuju Taluk Kuantan atau penyeberangan
pertama dari Taluk Kuantan menuju Pekanbaru.
Tempat penyeberangan lainnya adalah Teratak Buluh dan Lipat Kain. Waktu
itu belum ada jembatan. Kendaraan dan orang menyeberang menggunakan rakit.
Rakit tanpa mesin, bergerak dengan
memanfaatkan arus air sungai.
Perjalanan dari Pekanbaru menuju Taluk Kuantan atau sebaliknya,
ketika itu memerlukan waktu sekitar satu malam. Banyaknya kendaraan dan
terbatasnya kapasitas rakit, menyebabkan antrian. Pada waktu-waktu tertentu,
antrian ini cukup panjang dan memakan waktu lama. Kesempatan ini dimanfaatkan
oleh penumpang angkutan umum maupun kendaraan pribadi untuk makan malam.
Umumnya, angkutan umum melakukan perjalanan dimalam hari. Sampai di Rakik
Godang sekitar tengah malam.
Seingat saya, menu disini hanya dua yaitu ikan dan ayam.
Uniknya lagi, lauk itu sudah ditempatkan diatas meja makan. Pengunjung boleh
memilih dan mengambil sendiri. Kadang-kadang, masih dapat sayur berupa rebus
daun singkong. Suasana makan selalu ramai. Apalagi ketika bulan puasa. Selesai
makan, bayar di kasir (biasanya didekat pintu masuk/keluar). Kasir hanya
menanyakan berapa potong ikan atau ayam. Jadi, nasi dan sayur tidak dihitung.
Kasir percaya penuh kepada pengunjung. Pengunjung pun selalu jujur menyebutkan
jumlah ikan atau ayam yang dimakan.
Kini, semuanya sudah berubah. Pembangunan jembatan memperlancar
arus transportasi. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi banyak kemudahan. Namun,
selalu saja ada yang hilang dari kehidupan ini. Kesulitan melakukan perjalanan
mudik dahulu menjadi bagian dari masa-masa indah dalam kehidupan.
Pekanbaru, April 2014
No comments:
Post a Comment