Dengan informasi yang cukup, aktivitas akan menjadi lebih mudah.

Tuesday, August 12, 2014

Mengenang Rakik Godang Tempo Dulu



Mengingat masa-masa dahulu, selalu saja memberikan keindahan tersendiri. Padahal, banyak dari pengalaman masa itu sebenarnya merupakan kesulitan atau ketidak nyamanan. Ternyata, kesulitan dimasa lalu dapat menjadi keindahan untuk dikenang. Salah satu kenangan yang pernah saya alami adalah menyeberang dengan rakit di Rakik Godang.
Kondisinya sekarang sangat jauh berbeda. Itulah kesan pertama saya ketika segaja berkunjung kedesa Rakik Godang Kabupaten Kampar Propinsi Riau. Terletak sekitar 73 km dari Pekanbaru menuju Taluk Kuantan atau 2 km setelah Lipat Kain.
Tidak terlihat tanda-tanda bahwa suatu masa dulu, tempat ini cukup ramai. Disisi utara, masih ada beberapa bangunan, termasuk sebuah masjid. Sedangkan disisi selatannya, hampir tidak berbekas.

Sejak digunakannya jembatan sebagai penghubung dua sisi sungai Kampar di Rakik Godang , sepertinya pemukiman ini mulai ditinggalkan. Sedangkan Lipat Kain yang terletak sekitar 2 km dari Rakik Godang, terlihat semakin ramai dan terus berkembang.
Dulu di era 1970 an, pemukiman ini cukup ramai. Banyak terdapat rumah makan dikedua sisinya. Waktu itu, Rakik Godang merupakan tempat penyeberangan terakhir dari Pekanbaru menuju Taluk Kuantan atau penyeberangan pertama dari Taluk Kuantan menuju Pekanbaru.  Tempat penyeberangan lainnya adalah Teratak Buluh dan Lipat Kain. Waktu itu belum ada jembatan. Kendaraan dan orang menyeberang menggunakan rakit. Rakit tanpa mesin,  bergerak dengan memanfaatkan arus air sungai.
Perjalanan dari Pekanbaru menuju Taluk Kuantan atau sebaliknya, ketika itu memerlukan waktu sekitar satu malam. Banyaknya kendaraan dan terbatasnya kapasitas rakit, menyebabkan antrian. Pada waktu-waktu tertentu, antrian ini cukup panjang dan memakan waktu lama. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh penumpang angkutan umum maupun kendaraan pribadi untuk makan malam. Umumnya, angkutan umum melakukan perjalanan dimalam hari. Sampai di Rakik Godang sekitar tengah malam.
Seingat saya, menu disini hanya dua yaitu ikan dan ayam. Uniknya lagi, lauk itu sudah ditempatkan diatas meja makan. Pengunjung boleh memilih dan mengambil sendiri. Kadang-kadang, masih dapat sayur berupa rebus daun singkong. Suasana makan selalu ramai. Apalagi ketika bulan puasa. Selesai makan, bayar di kasir (biasanya didekat pintu masuk/keluar). Kasir hanya menanyakan berapa potong ikan atau ayam. Jadi, nasi dan sayur tidak dihitung. Kasir percaya penuh kepada pengunjung. Pengunjung pun selalu jujur menyebutkan jumlah ikan atau ayam yang dimakan.
Kini, semuanya sudah berubah. Pembangunan jembatan memperlancar arus transportasi. Kemajuan ilmu pengetahuan memberi banyak kemudahan. Namun, selalu saja ada yang hilang dari kehidupan ini. Kesulitan melakukan perjalanan mudik dahulu menjadi bagian dari masa-masa indah dalam kehidupan.
Pekanbaru, April 2014

No comments: