Saya pernah menghabiskan masa sekolah selama setahun di desa
Tandun. Itu terjadi sewaktu ada peristiwa PRRI. Orang tua saya yang berdomisili
di Pekanbaru, memilih mengungsi ke Tandun. Nenek saya menetap disini. Waktu itu
saya klas 1 Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar).
Suasana pedesaan sangat saya nikmati. Pergi sekolah bersama
teman-teman, jalan kaki. Sekolah kami terletak diseberang sungai. Jika air
sungai surut, kami menyeberang masuk sungai, walaupun ada jembatan. Air sungai
jernih, kelihatan dasarnya yang terdiri dari batu napal.
Libur sekolah, saya habiskan diladang nenek. Seingat saya,
pohon padinya lebih tinggi dari saya. Rumah diladang itu terbuat dari kerangka
kayu, lantai dan dinding kulit kayu, sedang atap dari daun rumbia/nipah.
Berbentuk rumah panggung. Malam hari, didekat rumah sering dinyalakan api.
Disamping padi, nenek juga menanam sayur seperti kacang
panjang, terung dan cabe. Ada juga tebu, terung asam, rimbang, pisang, jagung
dan lain-lain. Semua kebutuhan makan sehari-sudah tersedia, tinggal ambil di
ladang. Kecuali garam, gula, minyak goreng dan kopi. Diladang itu, terdapat
pula sebuah anak sungai kecil. Airnya jernih dan banyak ikannya. Disungai
itulah kami mandi dan mengambil air untuk keperluan memasak. Sering juga kami
mengambil ikan-ikan kecil untuk tambahan menu. Jarak ladang ini sekitar satu
jam perjalanan dari Desa Tandun, melalui hutan dan kebun karet. Menamam padi
dilakukan sekali setahun. Setelah dua kali ditanami, berpindah kelokasi lain.
Bekas ladang ini ditanami nenek dengan karet.
Setiap hari Kamis, disini ada pasar. Penduduk Tandun,
menghentikan aktivitas berladang. Kesibukan beralih ke sebuah pasar
tradisional. Dipasar ini dijual berbagai kebutuhan rumah tangga. Ada juga penjual pakaian dan makanan ringan
seperti roti. Makanan ringan dan roti ini tidak banyak pilihan. Jarang sekali
penjual daging dan ayam.
Nenek memiliki banyak
kebun karet. Hari kamis itu, para penderes (disini disebut pemotong) karet
menyetorkan hasilnya. Karet ini ditimbang dan kemudian dibeli oleh pengepul.
Hasil penjualan itu dibagi. Sepertiga untuk pemilik kebun dan dua pertiga untuk
penderes. Setiap hari pasar, rumah nenek yang terletak dekat pasar, selalu
ramai.
Setelah keadaan dirasa aman, setahun kemudian orang tua saya
kembali ke Pekanbaru. Saya melanjutkan pendidikan di kota ini.
Peristiwa tersebut sudah sangat lama berlalu. Namun, masih
selalu dapat saya ingat. Kebahagiaan masa kecil disebuah desa bernama Tandun.
Saya merasa beruntung, sempat menikmati hari-hari disebuah
desa dan ladang. Tidak mudah memperoleh kesempatan seperti itu dimasa sekarang
ini. Ladang sudah tidak ada. Air sungai tidak lagi jernih sehingga anak-anak
lebih memilih kolam renang untuk bermain. Anak-anak tidak lagi berteman dengan
alam sekitar. Lebih banyak menghabiskan waktu bersama peralatan elektronik dan
mengunjungi mall.
Pekanbaru, Maret 2015.
No comments:
Post a Comment