Suatu siang, saya mengantarkan seorang cucu laki-laki pulang kerumah
orang tuanya (anak saya) dengan menggunakan sepeda motor. Cucu saya ini berumur
kurang dari empat tahun. Sudah bersekolah di sebuah lembaga pendidikan (semacam
Pendidikan Anak Usia Dini). Sambil berjalan, si cucu ini menikmati cemilan
dengan bungkus dari bahan plastik. Saya ingatkan, sampahnya jangan dibuang
dijalan. Dengan santai, dia jawab :” Ya tuk, adek tahu tempat buang sampah.
Nanti adek kasi tahu”. Dalam pikiran saya, dia mengetahui adanya tong sampah
didekat rumahnya.
Disebuah persimpangan, dia minta berbelok. Saya ikuti
keinginannya. Tidak lama setelah belokan itu, dia menunjuk tumpukan sampah
dipinggir jalan sambil berkata :” Itu tuk tempat buang sampahnya”. Saya
kehilangan kalimat untuk memberi penjelasan, bahwa itu bukan tempat membuang
sampah yang sebenarnya. Saya juga kehilangan alasan yang tepat untuk melarang
dia membuang bungkus cemilan yang dari tadi di genggamnya. Dalam hati, saya hanya berkata bahwa pada
waktu yang tepat akan saya ajak dia berduskusi menjelaskan bahwa tempat seperti
itu bukanlah tempat membuang sampah.
Dari kasus ini, saya jadi terpikir, bagaimana sulitnya
menanamkan budaya bersih di negeri ini. Saya dan keluarga di rumah, selalu
mengajarkan dan mencontohkan kepada anak-anak dan cucu-cucu agar membuang
sampah pada tempatnya. Hampir semua ruangan dirumah, ada tong sampah kecil.
Sehingga tidak repot-repot untuk membuang bungkus permen atau cemilan lainnya.
Tumpukan sampah dipinggir jalan itu, tentu bukan hasil
perbuatan anak-anak. Ada peranan orang-orang dewasa disitu. Mungkin juga ada
peran orang tua si anak disitu. Para orang tua atau orang-orang dewasa ini,
tanpa rasa bersalah membuang sampah dipinggir jalan. Terjadilah penumpukan
sampah bukan ditempat pembuangan sampah. Di sebuah kota, tidaklah sulit
menemukan adanya tumpukan sampah dipinggir jalan. Tumpukan sampah seperti itu
selalu menjadi masalah.
Perbuatan orang-orang dewasa atau para orang tua ini disaksikan
oleh anak-anak, mungkin juga anak-anak mereka sendiri, termasuk cucu saya.
Lebih ironis lagi, jika orang tua menyuruh anaknya membuang sampah seperti itu.
Dan hal ini tidak mustahil. Terekamlah
didalam pikiran anak-anak itu, bahwa boleh-boleh saja membuang sampah
sembarangan. Boleh buang sampah di kali, parit/selokan, pinggir jalan, tanah
kosong dan lain-lain. Menjadilah kali, selokan, pinggir jalan dan tanah kosong
itu sebagai tong sampah.
Berapa banyak orang tua atau orang dewasa yang melakukan
kesalahan ini?. Tentu lebih besar lagi jumlah anak-anak yang menyaksikannya.
Persoalan sampah dengan persoalan lanjutannya (banjir
misalnya), dapat dikatakan salah satu penyebabnya berawal dari perilaku
penduduk negeri ini yang tidak memiliki rasa bersalah ketika membuang sampah
sembarangan. Tidak sulit untuk menemukan pelakunya. Pola pikir ini berlanjut ke
generasi berikut dan berikutnya lagi. Entah sampai kapan.
Saya selalu katakan kepada anak-anak dan kerabat, bahwa kita
tidak dapat berbuat banyak untuk menjadikan negeri ini bersih. Tetapi kita
dapat berbuat untuk tidak menambah kekotorannya. Salah satu upayanya adalah
dengan selalu membuang sampah pada tempatnya. Tidak termasuk tempat seperti
yang ditunjukkan oleh cucu saya.
Pekanbaru, 18 Januari 2012.
No comments:
Post a Comment